PADA saat benih bersertifikat belum banyak dikenal petani,
mereka sering memilih tanaman dengan morfologi yang bagus untuk
dijadikan benih pada musim tanam selanjutnya.
Setiap
benih tidak bisa langsung ditanam, butuh waktu untuk memecahkan masa
dormansi benih tersebut. Dormansi biji adalah waktu dimana biji tidak
bisa berkecambah karena kondisi lingkungan yang tidak mendukung.
Seleksi
yang biasa dilakukan oleh petani, menjadi cara yang paling mudah untuk
mendapatkan benih unggul. Seleksi merupakan prinsip dasar dalam ilmu
pemuliaan. Seleksi dilakukan dengan memilih tanaman yang mempunyai
morfologi hasil yang bagus. Morfologi tanaman dapat dilihat dari
penampakan luar tanaman, karakter hasil yang dihasilkan, atau dari mutu
benih/buah yang dihasilkan.
Dalam ilmu pemuliaan, seleksi
dilakukan dengan dua cara, yaitu seleksi massa negatif dan seleksi massa
positif. Seleksi massa negatif dilakukan dengan memilih tanaman-tanaman
yang mempunyai penampakan tidak sesuai dengan hasil yang diinginkan
kemudian tanaman tersebut dicabut/dimatikan.
Sedangkan seleksi
massa positif dilakukan dengan memilih tanaman–tanaman yang mempunyai
penampakan hasil sesuai dengan sifat yang diinginkan, hasil dari tanaman
tersebut dirawat dan dijadikan sebagai bahan tanam pada periode tanam
berikutnya.
Petani dahulu lebih senang melakukan seleksi massa
positif dengan memilih tanaman yang mempunyai hasil yang bagus,
memanennya, dan menyimpannya untuk pertanaman selanjutnya. Namun kini,
kearifan tersebut sudah mulai luntur karena pengetahuan petani akan
seleksi yang minim. Petani sekarang juga sudah dimanjakan dengan
benih–benih kemasan produksi pabrik berkualitas baik.
Ketergantungan
petani akan benih unggul dari pabrik memiliki dampak yang kurang baik.
Mengingat produsen benih saat ini masih banyak dikuasai oleh pihak
swasta baik nasional maupun asing.
Kian meningkatnya
ketergantungan benih pabrik membuat perusahaan benih lebih leluasa dalam
menentukan harga benih. Biasanya petani menjadi konsumen yang selalu
tidak diuntungkan, berhubung posisi tawarnya yang lemah.
Sekarang
ini, para petani sudah mengeluh tentang tingginya harga benih kemasan.
Perusahaan benih milik pemerintah yang seharusnya mampu memberikan benih
unggul terjangkau, terkadang hasil panenannya tidak memuaskan. Dengan
kondisi seperti ini, petani lebih memilih benih swasta yang mampu
memberikan hasil panenan yang baik meski harus merogoh kocek lebih
dalam.
Perusahaan swasta juga tidak kalah pintar, mereka terus
mengeluarkan benih-benih hibrida. Benih hibrida memang memberikan hasil
yang bagus karena sifat yang dimiliki merupakan kombinasi sifat–sifat
unggul dari tanaman sebelumnya.
Namun, jika jika hasilnya
digunakan kembali sebagai bahan tanam periode selanjutnya, kualitas
hasilnya menurun. Benih hasil tanaman hibrida yang ditanam kembali akan
memberikan penampakan yang beragam karena tanaman tersebut akan mulai
mengikuti sifat kedua tetuanya.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan
hasil yang sesuai dengan hasil hibrida maka harus dilakukan seleksi.
Jika dilakukan seleksi pada tanaman-tanaman dengan morfologi yang bagus
maka benih dari tanaman hibrida akan memberikan hasil lebih bagus.
Benih
hasil seleksi ini jika dilakukan berulang-ulang akan menjadi benih
galur murni yang mempunyai sifat unggul stabil baik secara penampakan
fisik maupun secara genetik dan seragam untuk populasi tanamannya. Butuh
6–8 kali seleksi dari benih hibrida untuk mendapatkan benih galur
murni.
Hal–hal dasar inilah yang harus diketahui petani agar
mengurangi ketergantungan terhadap benih unggul kemasan pabrik yang
harganya cukup mahal. Justru dengan seleksi, petani dapat membuat benih
sendiri dan dapat menghasilkan jenis tanaman sendiri sesuai sifat yang
mereka inginkan.
Bukan hal yang tidak mungkin, jika suatu saat
petani Indonesia mampu dan mandiri memproduksi benih unggul sendiri.
Semua ini memang butuh proses, memerlukan dukungan dari pemerintah dalam
memfasilitasi dan penerapan ilmu ini kepada petani.
Petani
Indonesia harus lebih inovatif, mengingat pasar bebas sudah berada di
depan mata. Jika pemerintah tidak mengambil langkah sejak sekarang, maka
pertanian Indonesia akan semakin kalah dengan pertanian negara tetangga
kita, seperti Thailand.
* Ari Wibowo, Peserta IBD angkatan
pertama asal Klaten, Jawa Tengah, lulusan program studi Pemuliaan
Tanaman, Universitas Gajah Mada.
Sumber : www.inilah.com
Posting Komentar