INILAH.COM, New York - Laju inflasi AS masih belum dalam posisi
aman karena masih terancam deflasi. Padahal ekonomi negeri Paman Sam
tersebut mendapat pelonggaran kuantitatif hingga US$85 miliar per bulan.
HSBC menyatakan bank sentral AS justru malah menyebarkan virus deflasi. Virus tersebut menjadi musuh pemulihan ekonomi negara maju sejak 20008 lalu. "Ini adalah pengganti perang mata uang di dunia moneter. Simulus moneter hanya memungkinkan bank sentral AS menyebarkan tren deflasi ke semua negara dari pada meningkatkan inflasi ke 2,5 persen," demikian catatan HSBC seperti mengutip cnbc.com, Rabu (25/12/2013).
Dalam setiap penurunan nilai tukar mau tidak mau menjadi kenaikan nilai tukar. Inflasi telah berakhir menjadi kuarang dari target The Fed. Demikian juga inflasi di zona Eropa masih di bawah target untuk semester kedua tahun 2013 ini.
Bank sentral Eropa (ECB) menghindari stimulus baru. Walaupun The Fed melanjutkan program pembelian aset di tahun 2014. Demikian juga dengan Bank of Japan akan memperkenalkan pembelian aset pada bulan April mendatang.
"Jika kebijakan tidak konvensional khususnya melalui nilai tukar terutama untuk meningkatkan ekspor. Mereka justri menyebarkan deflasi bukan mengobati. Ini menjadi semakin jelas stimulus moneter suatu negara menjadi seperti kebijakan berantai," jelas HSBC.
Semua negara mengalami penurunan inflasi secara tidak terduga kecuali Jepang. Hal itu bisa dipahami karena dengan kebijakan suku bunga acuan mendekati nol persen. Stimulus moneter hanya meningkatkan harga aset. Tetapi tanpa mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.
"Jika kalangan swasta, rumah tanga dan pemerintah sibuk deleveraging stimulus ekonomi mungkin tidak akan bermanfaat. Jika ada ketidakpastian tentang aritmatika jangka panjang, peningkatan pinjaman pemerintah hanya dapat mendorong investor untuk menyimpan dana lebih banyak atau sebaliknya untuk membayar utang lebih agresif."
Dalam keadaan ini apapun kebijakan bank sentral mungkin hanya bias dalam mencegah tren deflasi secara global.
Pendapat lain disampaikan Kepala Ekonom Blackhorse Asset Management, Richard Duncan pelonggaran kuantitatif hanya memicu gelembung kredit besar. Ini berisiko mengempus dan memicu inflasi yang ekstrim di seluruh dunia. Inflasi yang rendah memiliki bahaya yang nyata bagi pemilihan ekonomi global.
"Dalam siklus ekonomi yang standar, kegiatan mengarah ke inflasi. Bila gelembung sudah mengempis maka utang akan tinggi, deleveraging terbesar luas. Inflasi rendah akan memicu utang," katanya.
Jepang sudah mencatat saat pemulihan ekonomi pada pertengahan 1990. Justru malah tergelincir dalam deflasi dan pengetatan kebijakan yang prematur.
HSBC mengingatkan ada risiko dari virus deflasi. Sebab dengan melihat risiko inflasi yang terus menurun selama dua tahun ke depan. Kebijakan AS dan Eropa masih menerapkan suku bunga rendah mendekati nol persen .
Sumber :www.inilah.com
HSBC menyatakan bank sentral AS justru malah menyebarkan virus deflasi. Virus tersebut menjadi musuh pemulihan ekonomi negara maju sejak 20008 lalu. "Ini adalah pengganti perang mata uang di dunia moneter. Simulus moneter hanya memungkinkan bank sentral AS menyebarkan tren deflasi ke semua negara dari pada meningkatkan inflasi ke 2,5 persen," demikian catatan HSBC seperti mengutip cnbc.com, Rabu (25/12/2013).
Dalam setiap penurunan nilai tukar mau tidak mau menjadi kenaikan nilai tukar. Inflasi telah berakhir menjadi kuarang dari target The Fed. Demikian juga inflasi di zona Eropa masih di bawah target untuk semester kedua tahun 2013 ini.
Bank sentral Eropa (ECB) menghindari stimulus baru. Walaupun The Fed melanjutkan program pembelian aset di tahun 2014. Demikian juga dengan Bank of Japan akan memperkenalkan pembelian aset pada bulan April mendatang.
"Jika kebijakan tidak konvensional khususnya melalui nilai tukar terutama untuk meningkatkan ekspor. Mereka justri menyebarkan deflasi bukan mengobati. Ini menjadi semakin jelas stimulus moneter suatu negara menjadi seperti kebijakan berantai," jelas HSBC.
Semua negara mengalami penurunan inflasi secara tidak terduga kecuali Jepang. Hal itu bisa dipahami karena dengan kebijakan suku bunga acuan mendekati nol persen. Stimulus moneter hanya meningkatkan harga aset. Tetapi tanpa mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.
"Jika kalangan swasta, rumah tanga dan pemerintah sibuk deleveraging stimulus ekonomi mungkin tidak akan bermanfaat. Jika ada ketidakpastian tentang aritmatika jangka panjang, peningkatan pinjaman pemerintah hanya dapat mendorong investor untuk menyimpan dana lebih banyak atau sebaliknya untuk membayar utang lebih agresif."
Dalam keadaan ini apapun kebijakan bank sentral mungkin hanya bias dalam mencegah tren deflasi secara global.
Pendapat lain disampaikan Kepala Ekonom Blackhorse Asset Management, Richard Duncan pelonggaran kuantitatif hanya memicu gelembung kredit besar. Ini berisiko mengempus dan memicu inflasi yang ekstrim di seluruh dunia. Inflasi yang rendah memiliki bahaya yang nyata bagi pemilihan ekonomi global.
"Dalam siklus ekonomi yang standar, kegiatan mengarah ke inflasi. Bila gelembung sudah mengempis maka utang akan tinggi, deleveraging terbesar luas. Inflasi rendah akan memicu utang," katanya.
Jepang sudah mencatat saat pemulihan ekonomi pada pertengahan 1990. Justru malah tergelincir dalam deflasi dan pengetatan kebijakan yang prematur.
HSBC mengingatkan ada risiko dari virus deflasi. Sebab dengan melihat risiko inflasi yang terus menurun selama dua tahun ke depan. Kebijakan AS dan Eropa masih menerapkan suku bunga rendah mendekati nol persen .
Sumber :www.inilah.com
Posting Komentar