Find Us OIn Facebook

TINGGAL 48 jam lagi, fungsi pengawasan perbankan yang selama ini dipegang Bank Indonesia (BI), akan beralih ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Artinya, mulai 1 Januari 2014 OJK resmi menjadi lembaga superior, yang mengawasi industri perbankan, pasar modal, reksa dana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, dan asuransi. Sebelumnya, pada 1 Januari 2013, fungsi pengawasan lembaga keuangan nonbank Bepepam-LK sudah lebih dulu beralih ke OJK.

Jadi, OJK benar-benar telah menjadi lembaga superior. Maklum, yang diawasi dan diatur juga besar. Di perbankan, lembaga ini tak cuma mengawasi, tapi juga mengatur, memberikan izin pendirian dan pembukaan kantor sampai pencabutan izin bank. Bukan hanya itu, OJK juga boleh menengok anggaran dasar dan rencana kerja bank.

Di lembaga keuangan nonbank, OJK berwenang memberikan sanksi dalam berbagai tingkatan ke lembaga keuangan, mulai dari sanksi administratif, mencabut izin usaha, dan membekukan lembaga keuangan yang terindikasi merugikan investor.

Sebagai lembaga yang baru berumur 1 tahun, tentu saja, tugas yang dipikul OJK sangat berat. Apalagi, lembaga superior ini harus melewati masa transisi, seperti pengalihan tenaga pengawas dari BI. Selain itu, OJK juga masih fokus membangun infrastruktur dan peraturan.

Dengan kondisi seperti itu, mampukah para komisioner OJK menjalankan wewenang dan fungsi yang diberikan? Sebab, bukan apa-apa, OJK harus mengawasi industri keuangan, yang saat ini, memiliki valuasi di atas Rp 10.000 triliun. Jumlah ini lima kali lipat APBN 2014 sebesar Rp 1.842 triliun. Belum lagi, jumlah karyawannya yang diperkirakan mencapai 275 ribu orang.

Yang perlu dicatat, industri keuangan itu begitu dinamis. Saking dinamisnya, berbagai persoalan seringkali muncul. Dulu, BI yang bertugas mengawasi perbankan, berkali-kali kecolongan. Tengok saja di era Orde Baru lalu, ketika perbankan diguncang krisis moneter pada 1997-1998. Saat itu sebanyak 48 bank kolaps. BI pun mengeluarkan kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Cerita BLBI kembali berlanjut di era reformasi. Menjelang Pemilu 2009, terjadi skandal Bank Century. Akibat kasus tersebut, kerugian negara mencapai Rp 6,7 triliun. Para nasabah bank tersebut harus rela kehilangan dana sampai triliunan rupiah.

Celakanya, tahun depan adalah tahun politik, yakni Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Menurut Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, setiap kali menjelang pemilu, selalu muncul kasus perbankan. Bambang memberi contoh, sebelum Pemilu 1999 terjadi skandal BLBI. “Dari kasus ini, ada dana sekitar Rp 160 triliun yang tak jelas peruntukannya,” katanya.

Tahun 2008, setahun menjelang Pemilu 2009, Bank Century diberi dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun. Namun, bailout ini dianggap menyalahi aturan, sehingga muncul kecurigaan bahwa dana talangan itu sebagian besar dipakai untuk mendanai pemilu parpol tertentu.

Belakangan, banyak orang mencurigai adanya manuver politik terkait suntikan modal tambahan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebesar Rp 1,5 triliun ke Bank Mutiara.

Di lembaga keuangan nonbank, masalah yang bakal muncul juga tak kalah serunya. Tengok saja, jumlah pengaduan yang masuk ke OJK. Sejak mulai beroperasi Januari 2013 hingga September lalu, jumlah pengaduan yang masuk sebanyak 698. Angka ini melonjak tajam dibandingkan bulan Maret. Saat itu, OJK hanya menerima 278 pengaduan.

Dari jumlah itu, sebanyak 431 aduan (62%) berasal dari industri keuangan nonbank, 20% dari perbankan, dan 18% dari pasar modal.

Jumlah pengaduan yang paling banyak berasal dari nasabah asuransi, yakni 306 pengaduan. Sekadar catatan saja, tahun ini OJK mencabut izin Asuransi Bumi Asih Jaya, yang punya utang Rp 85,6 miliar. Saat ditutup, jumlah pemegang polis asuransi ini mencapai 10.854 orang.

Setiap tahun, pertumbuhan bisnis asuransi memang meningkat. Kalau saat ini dana yang dikelola Rp 300 triliun, tahun 2014 bisa mencapai Rp 500 triliun. Apalagi saat ini, berbagai produk asuransi begitu banyak, seperti unitlink, bancassurance, asuransi syariah, surety bond. Kalau dana yang dikelola semakin besar, semakin besar pula tanggung jawab OJK.

Yang tak kalah repot mengawasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang mulai beroperasi tahun 2014, menggantikan PT Asuransi Kesehatan (Askes). Sejumlah masalah membayangi badan asuransi baru ini, mulai dari infrastruktur, tenaga kesehatan sampai anggaran yang akan membengkak.

Untuk tahap awal, pemerintah akan menggelontorkan dana Rp 15,9 triliun untuk mensubsidi asuransi kesehatan bagi 86 juta warga miskin. Sementara untuk warga tidak miskin, mereka harus membayar premi yang besarnya Rp 19.255 per orang. Sudah bisa dibayangkan, bakal membeludaknya jumlah pasien di rumah sakit.

Untuk mengantisipasi berbagai masalah yang muncul, OJK dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sudah berbagi tugas. Menurut Muliaman, OJK akan mengawasi aspek keuangan, sedangkan aspek-aspek kebijakan menjadi tanggung jawab pengawasan DJSN.

MASALAH EGO

Tak hanya itu. OJK juga akan diisi oleh dua organisasi besar, yakni pegawai Bapepam-LK dan BI. Dua pekan lalu, BI sudah mengirim pegawainya sebanyak 1.200 orang ke OJK, sedangkan dari Bapepam-LK dan Kementerian Keuangan sudah masuk lebih dulu sekitar 800 orang.

Menghimpun dua organisasi besar dalam satu kapal, tentu saja, bukan pekerjaan gampang. Masalah ego sektoral pasti bakal muncul dalam internal OJK. “Itu satu tantangan. Saya kira itu menjadi penting dan konsolidasi internal itu memang memerlukan waktu. Kayak merger-lah, makanya perlu waktu,” ujar Muliaman Darmansyah Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK kepada InilahREVIEW (lihat: “Ini Memang Tidak Ringan”).

Yang tak kalah repot, jika nanti seluruh pegawai BI yang ditugaskan di OJK kembali ke BI. “Ini akan sulit bagi OJK membangun talenta pengawasan bank dari awal,” ujar Agus Martowardojo, Gubernur BI.

Berdasarkan UU OJK, tugas pegawai BI di OJK hanya berlangsung dari tahun 2013 hingga 2016. Setelah itu, mereka diperbolehkan untuk memilih, apakah meneruskan bekerja di OJK atau kembali ke BI.

Menurut Muliaman, pegawai yang ditugaskan BI ke OJK merupakan tenaga pengawas yang akan jadi modal pertama OJK. Namun, OJK juga akan merekrut pegawai baru. "Hari-hari ini kami sedang melakukan tambahan tenaga yang sifatnya teknis," ucap Muliaman. Tenaga teknis yang dimaksud, yakni pegawai yang terkait dengan internal audit dan ahli hukum.

MENJAGA MAKRO DAN MIKRO

Masalah lain yang bakal muncul adalah soal pembagian tugas antara OJK dan BI. Betul, semua sudah diatur bahwa BI mengurusi makro prudensial dan mikro prudensial menjadi tanggung jawab OJK.

Menurut UU OJK, dalam menjalankan tugasnya menjaga makroprudensial, BI masih dimungkinkan memeriksa bank yang dinilai dapat berdampak sistemik pada stabilitas sistem keuangan (SSK).

Hanya saja, keterlibatan BI dalam SSK masih terbatas pada perbankan. Idealnya, dalam menjalankan fungsi makroprudesial, seharusnya BI juga memiliki akses terhadap lembaga keuangan nonbank. Maklum, saat ini perbankan dan lembaga keuangan nonbank sudah saling terkait, terutama dalam hal produk keuangan.
Parahnya, UU BI yang seharusnya menjadi payung bagi bank sentral dalam menjaga makroprudensial, sampai saat ini masih digodok di DPR. Ketiadaan mandat ini membuat aparat BI tak ubahnya pasukan perang yang hanya dipersenjatai pentungan.

Artinya, langkah BI untuk menjalankan fungsi SSK menjadi kian terbatas. Coba saja lihat, untuk memperoleh data mikro perbankan, BI sangat bergantung pada OJK. Sementara untuk data nonbank, BI hanya bisa mengandalkan data pasar atau asosiasi.

Dengan hanya mengandalkan data sekunder dari OJK atau asosiasi industri, jelas hal ini bisa membuat BI menjadi tidak optimal dalam menjaga SSK. Bahkan, mungkin hasilnya menjadi kurang bermanfaat. Maklum, selain tidak seakurat data primer, data sekunder yang diterbitkan oleh asosiasi biasanya lebih lambat dua bulan.

Jelas, ini berbahaya. Sebab, bukan tak mungkin, ketika BI harus mengambil langkah penyehatan terhadap bank berpotensi sistemik, bisa-bisa penyakit bank yang bersangkutan sudah parah. Akibatnya, biaya yang harus dikeluarkan menjadi besar. Berbahayanya lagi, dampak yang ditimbulkan oleh bank tersebut pada akhirnya merembet ke sektor lain serta menganggu SSK.

Semua ini memang menjadi ujian bagi OJK, mampukah lembaga superior ini menjalankan tugas pengawasan perbankan dan lembaga keuangan nonbank? Kuncinya, koordinasi dan komunikasi yang intensif antara OJK, BI, dan Kementerian Keuangan.

Semoga saja OJK tidak seperti Financial Services Authority di Inggris, yang gagal menjalankan tugasnya.
Selengkapnya, artikel ini bisa disimak di majalah InilahREVIEW edisi ke-19 Tahun III yang terbit Senin, 30 Desember 2013. [tjs]

Sumber : inilah.com 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama