AWALNYA adalah bangkrutnya beberapa bank besar, seperti
Neal Banker dan Baring Bank, yang kemudian disusul penutupan 12 bank
lainnya. Dari sini kasus ini, Inggris lantas membentuk Financial
Services Authority (FSA) tanggal 1 Juni 1998.
FSA adalah lembaga mirip Otoritas Jasa Kuangan (OJK) di Indonesia. FSA dibentuk untuk menggantikan tugas Bank of England (BoE/ Bank Sentral Inggris). Tugas FSA adalah mengawasi lembaga keuangan, termasuk perbankan.
Namun, 12 tahun beroperasi, FSA ternyata tak bisa diharapkan. Buktinya, beberapa lembaga keuangan, seperti asuransi, bisnis investasi, termasuk bank terus berjatuhan di tahun 2007. Keadaan ini terus berlanjut pada September 2008 ketika Northern Rock ambruk, yang kemudian diikuti Bradford Bingley dan Royal Bank of Scotland Lloyds.
Sejumlah ekonom mencatat, ada empat kesalahan yang dilakukan oleh FSA. Pertama, komunikasi FSA tidak efektif dengan BoE dan Departemen Keuangan. Kedua, FSA lalai mengawasi bank sistemik. Ketiga, FSA terlalu fokus pada tugas pengawasan kegiatan bisnis dan melupakan pengawasan individual bank. Keempat, FSA disibukkan masalah internal yang tak kunjung beres, yakni proses merger sembilan otoritas pengawasan.
Karena dianggap tidak mampu, Inggris akhirnya membubarkan FSA, dan mengembalikan fungsi pengawasan perbankan ke BoE.
Cerita tak jauh beda dialami Korea Selatan. Tahun 1999, Pemerintah Korea Selatan memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank of Korea (BoK) ke lembaga baru bernama Financial Supervisory Service (FSS).
Seperti halnya FSA, FSS juga gagal menjalankan tugasnya. Untungnya, Korea Selatan lebih sigap ketimbang Inggris. Pemerintahnya mengembangkan tripartite system, yakni membagi wewenang kebijakan kepada tiga institusi pemerintah. Pertama, kebijakan ekonomi di bawah Ministry of Strategy and Finance. Kedua, kebijakan pemeliharaan stabilitas harga di bawah BoK. Ketiga, kebijakan perbankan menjadi tugas Financial Services Commisions (FSC).
Tak hanya itu. Pemerintah Korea Selatan juga menetapkan suatu landasan hukum yang menjadi dasar penguatan hubungan kerja antara BoK dan FSS.
Namun, cerita lembaga pengawas perbankan dan lembaga keuangan nonbank, bukan melulu kisah gagal. Di Jepang, fungsi pengawasan perbankan yang dijalankan The Financial Supervision Agency (FSA) sejak tahun 2000 berjalan sukses. Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) hanya bertugas menangani kebijakan, perumusan sistem moneter, dan implementasinya.
Kunci sukses FSA di Jepang terletak pada koordinasi yang baik antara FSA dengan BoJ. Kedua lembaga ini saling bertukar informasi dan jadwal rencana on-site examination yang akan dilakukan. Dalam situasi tertentu, BoJ dapat mengundang pejabat FSA atau sebaliknya untuk membahas permasalahan penting yang terjadi dengan lembaga keuangan di Jepang.
Jadi, tak ada salahnya kalau para komisioner OJK belajar dari kegagalan FSA di Inggris dan sukses FSA di Jepang.
Selengkapnya, artikel ini bisa disimak di majalah InilahREVIEW edisi ke-19 Tahun III yang terbit Senin, 30 Desember 2013. [tjs]
Sumber: inilah.com
FSA adalah lembaga mirip Otoritas Jasa Kuangan (OJK) di Indonesia. FSA dibentuk untuk menggantikan tugas Bank of England (BoE/ Bank Sentral Inggris). Tugas FSA adalah mengawasi lembaga keuangan, termasuk perbankan.
Namun, 12 tahun beroperasi, FSA ternyata tak bisa diharapkan. Buktinya, beberapa lembaga keuangan, seperti asuransi, bisnis investasi, termasuk bank terus berjatuhan di tahun 2007. Keadaan ini terus berlanjut pada September 2008 ketika Northern Rock ambruk, yang kemudian diikuti Bradford Bingley dan Royal Bank of Scotland Lloyds.
Sejumlah ekonom mencatat, ada empat kesalahan yang dilakukan oleh FSA. Pertama, komunikasi FSA tidak efektif dengan BoE dan Departemen Keuangan. Kedua, FSA lalai mengawasi bank sistemik. Ketiga, FSA terlalu fokus pada tugas pengawasan kegiatan bisnis dan melupakan pengawasan individual bank. Keempat, FSA disibukkan masalah internal yang tak kunjung beres, yakni proses merger sembilan otoritas pengawasan.
Karena dianggap tidak mampu, Inggris akhirnya membubarkan FSA, dan mengembalikan fungsi pengawasan perbankan ke BoE.
Cerita tak jauh beda dialami Korea Selatan. Tahun 1999, Pemerintah Korea Selatan memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank of Korea (BoK) ke lembaga baru bernama Financial Supervisory Service (FSS).
Seperti halnya FSA, FSS juga gagal menjalankan tugasnya. Untungnya, Korea Selatan lebih sigap ketimbang Inggris. Pemerintahnya mengembangkan tripartite system, yakni membagi wewenang kebijakan kepada tiga institusi pemerintah. Pertama, kebijakan ekonomi di bawah Ministry of Strategy and Finance. Kedua, kebijakan pemeliharaan stabilitas harga di bawah BoK. Ketiga, kebijakan perbankan menjadi tugas Financial Services Commisions (FSC).
Tak hanya itu. Pemerintah Korea Selatan juga menetapkan suatu landasan hukum yang menjadi dasar penguatan hubungan kerja antara BoK dan FSS.
Namun, cerita lembaga pengawas perbankan dan lembaga keuangan nonbank, bukan melulu kisah gagal. Di Jepang, fungsi pengawasan perbankan yang dijalankan The Financial Supervision Agency (FSA) sejak tahun 2000 berjalan sukses. Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) hanya bertugas menangani kebijakan, perumusan sistem moneter, dan implementasinya.
Kunci sukses FSA di Jepang terletak pada koordinasi yang baik antara FSA dengan BoJ. Kedua lembaga ini saling bertukar informasi dan jadwal rencana on-site examination yang akan dilakukan. Dalam situasi tertentu, BoJ dapat mengundang pejabat FSA atau sebaliknya untuk membahas permasalahan penting yang terjadi dengan lembaga keuangan di Jepang.
Jadi, tak ada salahnya kalau para komisioner OJK belajar dari kegagalan FSA di Inggris dan sukses FSA di Jepang.
Selengkapnya, artikel ini bisa disimak di majalah InilahREVIEW edisi ke-19 Tahun III yang terbit Senin, 30 Desember 2013. [tjs]
Sumber: inilah.com
إرسال تعليق