INILAH.COM, Jakarta - Kurs rupiah terhadap dolar AS di pasar
spot valas antar bank Jakarta, Senin (30/12/2013) diprediksi melemah
terbatas. Bagaimana outlook-nya 2014?
Ariston Tjendra, kepala riset Monex Investindo Futures mengatakan, jelang tutup 2013, rupiah akan bergerak tipis dalam kisaran 12.200 hingga 12.280 dengan kecenderungan melemah. "Sebab, rupiah tidak mendapat sentimen positif yang masuk," katanya kepada INILAH.COM.
Dari dalam negeri, lanjut dia, rupiah masih mendapat tekanan negatif dari defisit neraca lancar (current account) yang dirilis tiga bulan sekali. "Yang terdekat, pasar akan mendapatkan rilis neraca perdagangan dan inflasi pada 2 Januari 2014," ujarnya.
Neraca perdagangan sangat tergantung pada tingkat konsumsi Desember 2013. Jika meningkat, impor tentu mengalami kenaikan. "Jika itu yang terjadi, neraca perdagangan akan kembali mengalami defisit dan jadi tekanan negatif bagi rupiah," papar dia.
Lalu, suku bunga yang tinggi juga negatif bagi rupiah karena impor BBM yang tinggi. Plus-minusnya neraca perdagangan Indonesia sangat tergantung pada impor BBM. "Sebelumnya, karena impor BBM turun, neraca perdagangan menjadi surplus. Jika impornya naik lagi, ya defisit lagi," ungkap dia.
Sementara itu, pada 2014, kondisi rupiah bisa membaik dibandingkan kondisi sekarang. Tapi, perbaikan itu mungkin baru terjadi mendekati akhir 2014. "Untuk awal-awal 2014, rupiah berpeluang masih mendapatkan tekanan negatif seiring belum efektifnya kebijakan-kebijakan yang dibuat pada 2013," tuturnya.
Pada 2014, menurut Ariston, rupiah masih punya potensi pelemahan ke 12.500 per dolar AS. "Sementara itu, level terkuatnya di level 11.200-an per dolar AS," ucapnya.
Dia menegaskan, untuk menguat ke bawah 10.000 per dolar AS, harus ada kebijakan yang agresif. Saat ini kebijakan UU Minerba saja mendapat penolakan.
"Padahal, UU tersebut untuk menambah nilai produk ekspor Indonesia. Jika berjalan sebagaimana mestinya, justru akan memperkuat rupiah," timpal dia.
Akan tetapi, dia menggarisbawahi, karena pihak industri menolak, ekspor butuh waktu untuk mendapatkan nilai tambah. Sebab, industri juga tidak akan langsung mendapatkan uang.
"Butuh jalan panjang untuk membangun infrastruktur smelter-nya. Ini juga mungkin yang jadi alasan penolakan. Ekspor akan semakin turun karena Indonesia masih tergantung pada ekspor komoditas dan sekaligus jadi tekanan negatif bagi rupiah," imbuhnya.
Asal tahu saja, kurs rupiah terhadap dolar AS di pasar spot valas antar bank Jakarta, Jumat (27/12/2013) ditutup melemah 55 poin (0,45%) ke posisi 12.245/12.275. [jin]
Ariston Tjendra, kepala riset Monex Investindo Futures mengatakan, jelang tutup 2013, rupiah akan bergerak tipis dalam kisaran 12.200 hingga 12.280 dengan kecenderungan melemah. "Sebab, rupiah tidak mendapat sentimen positif yang masuk," katanya kepada INILAH.COM.
Dari dalam negeri, lanjut dia, rupiah masih mendapat tekanan negatif dari defisit neraca lancar (current account) yang dirilis tiga bulan sekali. "Yang terdekat, pasar akan mendapatkan rilis neraca perdagangan dan inflasi pada 2 Januari 2014," ujarnya.
Neraca perdagangan sangat tergantung pada tingkat konsumsi Desember 2013. Jika meningkat, impor tentu mengalami kenaikan. "Jika itu yang terjadi, neraca perdagangan akan kembali mengalami defisit dan jadi tekanan negatif bagi rupiah," papar dia.
Lalu, suku bunga yang tinggi juga negatif bagi rupiah karena impor BBM yang tinggi. Plus-minusnya neraca perdagangan Indonesia sangat tergantung pada impor BBM. "Sebelumnya, karena impor BBM turun, neraca perdagangan menjadi surplus. Jika impornya naik lagi, ya defisit lagi," ungkap dia.
Sementara itu, pada 2014, kondisi rupiah bisa membaik dibandingkan kondisi sekarang. Tapi, perbaikan itu mungkin baru terjadi mendekati akhir 2014. "Untuk awal-awal 2014, rupiah berpeluang masih mendapatkan tekanan negatif seiring belum efektifnya kebijakan-kebijakan yang dibuat pada 2013," tuturnya.
Pada 2014, menurut Ariston, rupiah masih punya potensi pelemahan ke 12.500 per dolar AS. "Sementara itu, level terkuatnya di level 11.200-an per dolar AS," ucapnya.
Dia menegaskan, untuk menguat ke bawah 10.000 per dolar AS, harus ada kebijakan yang agresif. Saat ini kebijakan UU Minerba saja mendapat penolakan.
"Padahal, UU tersebut untuk menambah nilai produk ekspor Indonesia. Jika berjalan sebagaimana mestinya, justru akan memperkuat rupiah," timpal dia.
Akan tetapi, dia menggarisbawahi, karena pihak industri menolak, ekspor butuh waktu untuk mendapatkan nilai tambah. Sebab, industri juga tidak akan langsung mendapatkan uang.
"Butuh jalan panjang untuk membangun infrastruktur smelter-nya. Ini juga mungkin yang jadi alasan penolakan. Ekspor akan semakin turun karena Indonesia masih tergantung pada ekspor komoditas dan sekaligus jadi tekanan negatif bagi rupiah," imbuhnya.
Asal tahu saja, kurs rupiah terhadap dolar AS di pasar spot valas antar bank Jakarta, Jumat (27/12/2013) ditutup melemah 55 poin (0,45%) ke posisi 12.245/12.275. [jin]
Sumber: inilah,com
Posting Komentar